Turnamen foto perjalanan ronde 50: kemarau

November 2012,

Rumput di belakang rumah kering kerontang. Tak ada lagi warna hijau. Cokelat seutuhnya. Lama tak turun hujan dan lama pula tak disiram karena persediaan air di rumah terbatas.

Saya mengangkat jemari ke udara, skipper yang berputar sejak tadi mengitari kepala memang kerap kali penasaran. Sinar langit yang menyengat pun menyampaikan rasa silau tapi penuh keramahan saat skipper nemplok dengan manisnya di jemari.

Lalu berdua, kami mandi matahari.

DSC_0014

Diikutsertakan dalam Turnamen Foto Perjalanan ronde 50: kemarau di sini

Turnamen foto perjalanan ronde 36: taman

Jika menyebut kata taman, yang pertama terlintas adalah petakan halaman di belakang rumah sendiri. Bukan taman cantik yang dipenuhi dengan berbagai bunga memang. Menanam kembang sepatu saja saya gagal. Halaman belakang rumah kami lebih banyak dipenuhi dengan rumput liar yang jika musim hujan akan meninggi dengan cepat sehingga membuat kami yang menjemur cucian akan merasa gatal di kaki. Lalu ibu akan memanggil tukang potong rumput mesin untuk memangkasnya. Karena jika tidak, saya yang akan memangkasnya dengan gunting rumput manual. Dalam waktu 1 jam, rumput yang bisa saya pangkas kurang dari setengah meter saja. “Kelamaaan!” Kata Ayah.

Entah halaman belakang kami itu masuk dalam kategori taman pada umumnya atau tidak. Tapi bagi saya, betapapun menyenangkan dan indahnya taman yang saya temui di perjalanan, taman di belakang rumah kami ini tak ada duanya.

Continue reading “Turnamen foto perjalanan ronde 36: taman”

Common five ring

Lama juga saya nggak nongkrong di kebun untuk berburu foto. Maka ketika minggu lalu melihat seekor kupu-kupu yang terbang rendah dan perlahan, lekas saya dekati pelan-pelan.

Rupanya itu adalah Common five ring alias Ypthima baldus

image

Bertemu kupu-kupu jeruk alias Common lime

Saya selalu suka momen saat menyeduh teh di dapur. Jendelanya yang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membuat saya bisa memandangi rerumputan hijau di halaman belakang sambil berada di tengah kepulan asap teh yang baru diseduh, membuat saya seolah seperti sedang berada di sekretariat kemping di sekitar padang savana.

Dari sini saya bisa memandangi, secara diam-diam, kelompok burung Gereja (Passer montanus), yang sedang berebut mematuki sisa makanan di rumput, tanpa mereka ketahui atau merasa terganggu sehingga terbang kocar-kacir begitu melihat saya. Dari jendela sini juga, pagi itu, mata saya tertumbuk pada kupu-kupu yang sedang nemplok di pohon tomat yang tumbuh secara alamiah di halaman belakang. Continue reading “Bertemu kupu-kupu jeruk alias Common lime”

Menanti hujan

September, 2012

Saya yang penasaran dengan skipper atau skipper yang penasaran dengan saya.

Kalimat itu terlontar ketika untuk kedua kalinya spesies ini nemplok dengan manisnya saat saya dengan sukarela mengulurkan tangan ketika dia terbang.
Kamera, yang dipegang dengan tangan kanan, saya angkat pelan-pelan lalu diarahkan kepadanya. Ia tetap tak bergeming, hanya menatap saya di tengah sinar matahari yang dengan vulgar menyengat kami terang-terangan.

Entah ini individu yang sama dengan yang singgah di tangan saya pada bulan Desember tahun lalu atau tidak. Tapi kali ini memang dengan kondisi yang jauh berbeda.
Continue reading “Menanti hujan”

Berkebun

Suatu hari manakala sedang mencabut tanaman ginseng yang tumbuh liar di taman, tanpa sengaja mata saya tertuju pada halaman belakang milik tetangga.

Berderet-deret di sana, menjalar dan merambat dengan rapi, serta tumbuh menyeruak, berbagai tanaman seperti timun, bawang merah, sereh, dan sirih.

Di pojokan lahannya, tanaman cabai sudah merah merona dan siap dipanen. Tak jauh dari situ bergelantungan terung dengan warnanya yang menggoda untuk dipetik.

Huaaaaaa…!
Continue reading “Berkebun”

Bahagia dengan sederhana: sisi belakang rumah

Adalah sebuah berkah tersendiri jika kami mendapatkan sebuah rumah-huni sementara yang memiliki halaman belakang, meski tidak terlalu luas. Ah, jangan bayangkan halaman belakang yang tertata rapi luar biasa dengan air mancur bertingkat, lampu taman, atau tempat minum burung. Teras belakang rumah kami dipenuhi dengan barang-barang yang tak terpakai atau belum dipakai; alat pel, ember cucian, kandang ayam dan burung yang dibiarkan kosong bertahun-tahun kemudian diisi saja dengan botol-botol bekas, ember bocor, pagar rusak, dan sebagainya.

Tapi seperti biasa. Tentu ini juga adalah sebuah pilihan; apakah membiarkannya terbengkalai begitu saja sampai ditumbuhi semak belukar dan rumput tinggi-tinggi, melakukan perombakan dengan mengaspalnya dan menjadikan halaman belakang itu sebagai tempat jemuran sekaligus tempat parkir sepeda motor, atau menanaminya dengan berbagai tumbuhan.

Syukur, pilihan kami 12 tahun lalu adalah yang terakhir disebutkan, mengingat pengertian “nikmat” bagi kami sejak dulu adalah sebuah kesederhanaan makan di rerumputan atau di bawah pohon alias ruang terbuka.

Continue reading “Bahagia dengan sederhana: sisi belakang rumah”

Blog at WordPress.com.

Up ↑