26 minggu ~ 30 September 2014

Bagaimana bisa ya dia bernafas di dalam sana? Bagaimana caranya?

Bagaimana bisa ya dia bergerak dan menggetarkan perut saya hingga seringkali menonjol tak tentu bentuknya?

Bagaimana bisa ya?

Seringkali saya masih penasaran pada beberapa hal yang saya tak kuasai. Juga hal yang tak mungkin saya tanyakan pada dokter karena terlalu umumnya hal tersebut. Sehingga saya hanya bisa menebak, mengetahui dari bacaan, atau sekedar membayangkan saja dia yang berdetak dalam rahim saya.

Tiga tahun lagi adalah waktu yang singkat. Tiga tahun lagi (Insya Allah) saya menjelang usia kepala 3. Sudahkah target dan impian di usia tersebut saya kejar dan usahakan? Seperti yang sudah tertuang sebelumnya: rasanya belum. Saya merasa masih berdiri di tempat. Ingin rasanya berpaling untuk mengejar tapi sejenak masih ragu.

wpid-1407586695849.jpg
20 minggu

Tapi yang jelas di usia 27 sekarang ini, beberapa tahun lalu tentu saya tak menyangka akan berada pada masa menjadi calon ibu. Tak menyangka perut saya bisa membesar hingga seperti ini, tak menyangka hampir setiap malam saya bisa kebingungan esok mau pakai baju apa karena banyak yang kekecilan dan tak lagi nyaman.

Saya juga tak menyangka, waktu bisa berjalan secepat ini. Sekejap saya berada di Kopaja, bekerja, sore hari tertidur lagi di Kopaja, lalu esok menjalani kembali rutinitas yang sama. Hingga tidak terasa pergantian usia kandungan juga berjalan dengan cepat.

“Kakinya udah mulai bengkak belum?” tanya Pasukan Sepupu pada saya saat kami berkumpul dan duduk melingkar di karpet rumah.

“Udah. Nih.” jawab saya sambil menunjukkan kedua kaki.

Mereka memerhatikan dengan seksama, melongo, lalu ramai-ramai berteriak, “Apanya yang bengkak! Sama kaki kita yang nggak hamil juga gedean kita haha.”

Tapi serius, sejak mulai menjelang minggu ke-24 atau bulan ke-6 selain dede semakin heboh berenang dan menendang dalam perut, pergelangan kaki saya memang mulai bengkak.

Atau cerita lain lagi saat suatu hari saat turun dari Kopaja dan kaki terasa sangat pegal, saya memutuskan untuk menyambung naik Kopaja selanjutnya alih-alih berjalan kaki seperti biasa. Jarak dari tempat turun Kopaja dan kantor tidak terlalu jauh memang sehingga saya memilih berolahraga sambil menghemat pengeluaran (ehm.. kata kawan saya yang nggak biasa jalan sih jauh hehe). Tapi untuk ukuran kaki yang sedang bengkak dan terasa terkilir saya ingin menghemat energi di pagi itu.

Apa daya, tidak tersedia tempat duduk lagi di Kopaja yang kemudian saya naiki. Empat penumpang perempuan yang duduk di deretan paling belakang Kopaja tepat di hadapan saya memilih untuk diam saja, memerhatikan saja, dan tak memberi tempat duduk untuk saya. Aih, nasib. Mau hemat energi malah jadi berdiri hingga tujuan dengan kondisi kaki bengkak. Waktu saya cerita ke kawan saya, mereka ramai-ramai teriak, “Tegaaaaa! Itu perutnya kan udah kelihatan banget!”

^^^^^^^^^^^

Sebelum hamil, saya tak meminta terburu-buru supaya Allah memberi saya anak dalam waktu secepat kilat. Juga tidak memintanya untuk menunda. Saya tahu Dia akan memberi di saat saya (dan juga kami) siap.

Pekerjaan Abang yang sekitar setahun lalu masih bolak-balik Jakarta-Halmahera dengan siklus 5 minggu  mungkin menurutNya bukan waktu yang tepat untuk saya diberi kehamilan. Pun begitu ia pindah bekerja di perpustakaan di Tangerang dan kami menetap secara nomaden di rumah ibu dan rumah ummi, saya juga tak langsung hamil. Atau ketika ia harus kembali resign karena diterima bekerja di tempat lain.

Dede justru hadir di tengah kami tak menduganya sama sekali. Jika perhitungan tepat, maka ia sudah hadir saat perjalanan menanjak saya menuju Cibereum, melewati jalan berbatu, dan ikut kemping di dalam tenda yang diguyur hujan deras bersama dengan Nofal dan Eris. Sebuah waktu yang sama sekali tidak kami duga. Dan syukur hingga hari ini ia sehat.

wpid-title_IMG_2014_0423_224946_.jpg

Maka bagi saya, waktu yang terus berjalan ini memang sebuah rahasia yang hanya diketahui olehNya. Kemarin-kemarin saya masih menggalau akan sebuah keputusan saat nantinya dede lahir ke dunia, tentang apakah saya akan terus bekerja di kantor atau di rumah. Saya tahu saya tidak boleh terlalu menggalau atau berpikiran negatif, karena itu saya menegaskan pada diri sendiri bahwa pemikiran ini bertujuan nantinya untuk mengambil keputusan yang sudah dipikirkan dengan seksama. Bukan karena emosi atau karena terpaksa.

Lalu mulailah saya semakin rutin membaca berbagai artikel mengenai “bekerja di kantor” atau “bekerja di rumah”, serta tulisan-tulisan dari pengalaman yang dibuat baik oleh blogger dalam dan luar negeri.

Sempat juga untuk mengikuti saran mengirimkan CV ke tempat lain yang kemungkinan lokasinya lebih dekat. Saat itupun saya baru tersadar, selama 4 tahun ini CV saya tidak diperbaharui. Sama seperti mereka yang bertanya-tanya mengapa saya selama 4 tahun ini tak coba melamar di tempat lain, saya pun bertanya-tanya mengapa bisa mereka yang berpindah tempat kerja bisa dengan mudahnya beradaptasi di lingkungan baru?

Setelah (beberapa kali) meneguhkan hati, saya berniat mengirimkan CV tapi lalu keesokan harinya niat ini saya batalkan karena pemikiran yang bisa jadi terlalu (sok) idealis terkait instansi yang menjadi sasaran.

Aih… apakah saya terlalu banyak berpikir dan menimbang? Tapi bukankah itu memang diperlukan? Dan tenggat waktu berpikir tentang terus bekerja atau tidak semakin mendesak karena ini sudah memasuki akhir September.

Sama seperti waktu yang penuh misteri, rezeki pun juga. Dan saya harus yakin bahwa yang satu itu sama sekali tak akan tertukar.

~ Menjelang Oktober. Berpikir sambil ditemani dede yang terus menghentak perut. Rasanya… luar biasa…

 

2 thoughts on “26 minggu ~ 30 September 2014

Add yours

  1. nanti ya kalau dedenya udah beneran di tangan, galaunya bakal lebih-lebih lagi.. kalo kerja di rumah, maunya main terus sama dede. kalo kerja kantoran, kangen terus sama “buntelan unyu” di rumah.. Hehehehe…

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑