Ulat bulu

Siapa yang tak takut atau geli dengan ulat bulu? Apakah lebih banyak kubu dari kalian yang takut? Atau justru yang tidak takut?

Rasanya ketika masih kecil saya adem ayem saja jika ada ulat bulu. Seingat saya, paling hanya sekedar menghindar, naik sepeda harus dengan konsentrasi penuh supaya jangan sampai nyusruk ke selokan yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar yang dipenuhi ulat bulu kecil-kecil tapi bulunya luar biasa bikin gatal.

Pernah juga ketika tangan iseng meraba-raba daun saat asyik cekikikan dengan pasukan bocah lain, lalu tak sengaja menyentuh benda lunak yang ternyata ulat. Sedetik kemudian langsung lari ke dalam rumah mengambil minyak tawon supaya tak gatal. Tapi itu saja. Tak sampai jejeritan atau teriak-teriak heboh jika bertemu dengan makhluk satu itu.

Tapi semuanya langsung berubah saat kelas 3 SMA. Saat itu saya dan Puput sedang sibuk mengobrol di dalam bus kota yang bangkunya rombeng-rombeng itu, ketika tiba-tiba seseorang mencolek bahu saya. Saat saya menoleh ke belakang, seorang anak dengan seragam SMP menunjuk-nunjuk tas warna hitam yang berada di pangkuan saya. Ketika mata saya beralih ke arah yang ditunjuk anak itu, tampaklah di sana benda berwarna hijau, berukuran besar dan gemuk yang memiliki mata bulat dan besar pula. Permukaan tubuhnya ditumbuhi rambut berwarna hijau juga yang jarang-jarang tumbuhnya namun panjang dan berdiri tegak. Dengan santainya ia menggeliat di atas tas di pangkuan dan menatap saya yang detik itu juga langsung menjerit kencang sambil melempar tas ke sisi bawah, lalu menatap Puput yang juga ikutan panik.

Jantung berdegup kencang dan rasanya mau loncat keluar bus (setelah lajunya berhenti tentu saja) dan meninggalkan tas itu di jalan. Tapi tentu saja tak bisa, toh tasnya juga sudah dilempar. Saya terus menatap Puput dengan bingung dan muka memucat.

“Dek, udah disingkirin inih ulatnya.” Colek seseorang lagi yang kali ini adalah kondektur alias kenek bus. “Nih tasnya.” Sambungnya lagi sambil menyodorkan tas hitam.

Saya, terlanjur panik, menyerahkan tas tersebut ke Puput, yang kemudian disodorkan balik oleh Puput sambil menggeleng. “Ogah. Bawa sendiri. Gw juga takut.” Sahutnya sambil setengah cekikikan.

Maka perjalanan pulang pun dilanjutkan dengan saya yang hanya berani memegang ujung tas saja, sehingga ketika rute terakhir menuju rumah, dengan menaiki sepeda, jari-jari menjadi kebas karena hanya memegang tas yang lumayan berat tersebut dengan hanya beberapa jari sambil sekaligus memegang stang sepeda yang melaju. Tiba di rumah, tas milik kakak saya itu langsung saya rendam dan bertekad tak mau lagi memakainya untuk seterusnya.

Sejak peristiwa bertatapan dengan ulat bulu semok di dalam bus itulah, perseteruan saya dengan makhluk yang kemudian akan berubah cantik dalam metamorfosisnya, dimulai.

^^^^^^^^^^^

Setelah itu setiap bersentuhan dengan pohon atau melewati jalan setapak dengan pohon rindang, saya sibuk celingukan. Mewanti-wanti jangan sampai bertemu ulat, apalagi yang ada bulunya.

Pernah pula turun hujan tiba-tiba di rumah, lalu langsung ngibrit mengangkat jemuran di halaman belakang. Ketika masuk kembali ke dalam rumah rasanya ada yang merayap di kaki. Dan meskipun masih ragu apakah itu ulat bulu kecil atau serangga, tetap saja lari-lari heboh mencari benda lain di dalam rumah untuk menyingkirkannya, supaya tak menyentuhnya dengan tangan telanjang. Dih lebay bener yah haha XD. Jangan-jangan memang ini yang namanya phobia.

Tapi rasanya lalu dilema saat mulai jatuh hati pada deretan mangrove di Utara Jakarta. Lalu saat harus menginap dan melakukan kegiatan di sana yang notabene dipenuhi pepohonan di kiri dan kanan jalan-panggung. Tetap sih saat itu sibuk celingukan di antara pepohonan dan teriak ketika ada ulat bulu nemplok di bahu teman, yang saat itu hanya diusir dengan pelan dan tak banyak cingcong oleh si teman tersebut XD. Tapi lama kelamaan kok jadi merasa berlebihan sendiri yah? [dari kemaren ke mana ajah haha]. Habis rasanya jadi riweuh sendiri kalau terus celingukan dan paranoid dengan ulat sementara mata juga harus menatap binokuler ketika pengamatan burung. Apalagi ketika ayah meledek dengan bilang; “Katanya mau naik gunung, masa takut ulat? Gimana mau masuk hutan?”. Dan sejak itu mulai menstimulasi diri bahwa ulat mungkin nggak serem-serem banget. Sehingga kemudian di antara deretan hutan mangrove itu, saya mulai bisa menyaksikan puluhan ulat kecil yang baru menetas dan merambati pegangan jalan. Aih, meskipun melihatnya sambil sesekali bergidik.

Beberapa tahun kemudian ketika mulai tertarik dengan jepret-jepret tumbuhan dan segala teman-temanya pun masih belum berani untuk memotret ulat bulu. Tapi saat berada di Cinangneng, di mana saat itu ulat-ulat sedang bertebaran di pepohonan di sana, akhirnya saya bertekad untuk memotretnya juga. Dengan mengambil jarak aman untuk memotret, tangan kanan memegang kamera, dan tangan kiri mencengkeram erat kaos Ririn, sepupu saya, supaya ia menemani dan tidak kabur meninggalkan saya sendirian di tengah ulat bulu yang banyak itu. Ririn cekikikan sambil berusaha sesekali kabur sambil menarik kaosnya.

Mungkin kemudian karena melihat saya yang mulai membuka diri, Sang Pencipta juga memperlihatkan maksudnya. [Ini beneran apa saya doang yang kepedean sampe bikin analisa itu nggak papa deh ya haha]. Karena kemudian saya jatuh hati untuk menjepret kupu-kupu.Ya, kupu-kupu yang merupakan hasil dari metamorfosis si ulat yang saya takuti itu. Dengan segala warna dan polanya, pelan-pelan setiap kupu-kupu yang mampir ke halaman belakang rumah menarik perhatian saya. Mulai dari yang cukup besar macam Hypolimnas misippus, atau yang kecil macam Zizina Otis. Mulai dari yang terbangnya memiliki kecepatan tinggi macam Graphium agamemnon, sampai yang gesit tapi cukup mudah didekati semacam skipper. Semakin giat saya menanam, semakin mereka singgah dengan cantiknya di halaman belakang rumah.

Danaid Eggfly, DKI Jakarta
Common Lime (1)
Rice swift atau Formosan swift; Skipper

Aih, apalagi ketika berhasil bertemu Trodies brookianaalias Raja Brooke Bird’s Wing di Lembah Harau, yang kabarnya disebut sebagai kupu-kupu teranggun di dunia oleh Alfred Wallace, rasanya tambah jatuh cinta.

Raja Brooke’s Birdwing, Lembah Harau

Kalau sudah begini, bagaimana saya bisa membenci ulat bulu, yang nantinya setelah melalui proses sulit keluar dari kepompongnya, akan berubah menjadi kupu-kupu, makhluk yang susah payah saya dekati sampai jongkok-jongkok di kebun dengan brace?

Kepompong

Suatu hari di belakang rumah, dari kejauhan saya melihat sesuatu berwarna oranye sedang berjalan mengitari pot tanaman. Benar dugaan saya, itu ulat dengan bulunya yang tegak berdiri. Dan entah sudah berapa putaran permukaan pot ia lalui. Apa ulat-ulat juga terkadang menggalau? Merasa tak jelas mau ke mana dan mau apa?

Tak lama kemudian ketika saya melongok ke kebun lagi ia sudah mematung di salah satu sisi pot. Ulat bulu yang tadinya berputar tak jelas di atas pot kini sudah tak bergerak sama sekali. Aha! Jangan-jangan mau berubah jadi kepompong ia! Benar saja, sore esok hari ketika ditengok lagi, perlahan sudah ada yang membungkus tubuhnya. Aih, tak sabar menanti ketika waktu keluarnya tiba.

Namun sayang, setelah ditunggu 10 hari rasanya ada yang tak beres. Kepompong yang tadinya berwarna oranye itu tiba-tiba menghitam. Dan beberapa hari saya tunggu lagi, kepompong itu tak juga menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan kupu-kupu. Warnanya hitam pekat. Sayang sekali :(. Jika berhasil, ulat jenis ini akan menjadi kupu-kupu bernama Painted Jezebel atau nama latinnya Delias hyparete.

Painted Jezebel_DKI Jakarta (3)

Satu cerita lagi adalah ketika mendaki menuju Cibereum. Taman Nasional itu tentu saja berisi beragam pepohonan khas hutan hujan tropis dan segala biota di dalamnya. Selama perjalanan menuju ke sana saya berdoa semoga tidak bertemu dengan ulat bulu dalam jarak dekat, atau kalaupun bertemu tidak apa tapi yang penting semoga saya jangan sampai menjerit atau berteriak heboh sehingga menggangu penghuni hutan lainnya ataupun teman seperjalanan.

Dan ternyata doa dikabulkan. Saya malah mendapat kesempatan menjepret Lesser Grass Blue alias Udara Akasa 3 ekor sekaligus yang sedang mengerumuni sesuatu, yang saya duga adalah kotoran burung.

White Hedge Blue bertiga

*Tulisan mengenai kupu-kupu bisa juga baca milik dedengkot Baluran di sini :p

Dan dalam perjalanan pergi mendaki dan menuruni Cibereum memang saya tak bertemu dengan ulat bulu. Tapi hal tersebut justru terjadi di dalam angkot Depok yang saya naiki setelah turun dari bus yang membawa turun dari Cibodas ke Depok.

Supir angkot yang memenuhi sekian persen kuota angkot dengan speaker supaya musik yang ia putar memenuhi seantero angkot (dan juga orang di jalan raya), membuat kapasitas formasi “4-6” di dalam angkot menjadi berkurang dan menyempit. Dengan kondisi angkot yang penuh, saya terdesak ke ujung dan terjepit stereo. Dan ketika menoleh ke kanan tampaklah boneka ulat bulu berwarna kuning dengan ukuran besar. Ujung kepalanya terletak hanya beberapa inchi dengan wajah saya yang terdesak di bagian belakang angkot, sehingga saya bisa melihat dengan jelas warna-warni yang ada di ujung antenanya.

ALAMAAAAAAAAAAK!!!!

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑