Bahagia dengan sederhana: sisi belakang rumah

Adalah sebuah berkah tersendiri jika kami mendapatkan sebuah rumah-huni sementara yang memiliki halaman belakang, meski tidak terlalu luas. Ah, jangan bayangkan halaman belakang yang tertata rapi luar biasa dengan air mancur bertingkat, lampu taman, atau tempat minum burung. Teras belakang rumah kami dipenuhi dengan barang-barang yang tak terpakai atau belum dipakai; alat pel, ember cucian, kandang ayam dan burung yang dibiarkan kosong bertahun-tahun kemudian diisi saja dengan botol-botol bekas, ember bocor, pagar rusak, dan sebagainya.

Tapi seperti biasa. Tentu ini juga adalah sebuah pilihan; apakah membiarkannya terbengkalai begitu saja sampai ditumbuhi semak belukar dan rumput tinggi-tinggi, melakukan perombakan dengan mengaspalnya dan menjadikan halaman belakang itu sebagai tempat jemuran sekaligus tempat parkir sepeda motor, atau menanaminya dengan berbagai tumbuhan.

Syukur, pilihan kami 12 tahun lalu adalah yang terakhir disebutkan, mengingat pengertian “nikmat” bagi kami sejak dulu adalah sebuah kesederhanaan makan di rerumputan atau di bawah pohon alias ruang terbuka.

Bagi kami, terutama pasukan sepupu, halaman belakang menjadi tempat favorit untuk sekedar duduk-duduk saja. Tempat kami menyapu atau memunguti daun yang berjatuhan, tempat kami bermain, dan tempat kami melahap makanan yang semuanya kami keluarkan dari dalam rumah; biasanya berupa tahu dan tempe goreng, jeruk, keripik, peyek, kue sisa lebaran, ataupun risol pemberian tetangga.

serbuan besar-besaran

Kadang kami melakukan rencana untuk membuat pesta kebun kecil. Tapi seringkali, ketika piring, cobek, mangkuk dan panci besar sudah ditata rapi lengkap dengan isinya, hujan besar datang sehingga kami kocar-kacir membawa kembali segala peralatan makan masuk ke dalam rumah. Namun kadang kala, pesta kebun kecil-kecilan yang berhasil dilakukan justru adalah yang tanpa kami rencanakan sebelumnya.

Ketika saya tak bisa berjalan beberapa bulan lalu karena kecelakaan, pasukan sepupu menjenguk dengan hebohnya. Ketika mereka menggelar tikar di kebun, ah saya tak bisa satu pun melewatkan kesempatan ini. Maka meski dengan kaki yang luar biasa sakit, dengan kedua tongkat saya berjalan ke belakang untuk bergabung dengan mereka. Saya duduk di kursi, sementara mereka duduk di tikar. Pandangan dan kamera diarahkan 360 derajat dengan tetap duduk di kursi hehe.

Salah satu impian pasukan sepupu adalah melakukan sesi fotografi khusus di kebun, lengkap dengan kolam renang, balon warna-warni, dan cipratan air supaya lebih dramatis. Tapi ini belum sepenuhnya terwujud. Kolam yang bocor, tak ada pompa, tak bertemu tukang balon, ataupun hujan deras plus petir.

Get wet! 😀

Kolam sudah dibawa dan berhasil dipompa, tapi lima menit kemudian hujan besar datang. Kami pun berlarian ke teras rumah, tapi harus balik lagi ke tengah kebun untuk mengejar bocah-bocah yang berlari kembali ke arah kolam. Rupanya mereka tak mau selesai bermain air. Diangkat ke teras rumah, lari lagi ke halaman. Diangkat lagi, lari lagi. Tapi sejurus kemudian semua menurut masuk ke dalam rumah begitu petir menggelegar di langit.

Kabooorr
Dede aya ngambek :p

Malamnya ternyata kami berhasil mendirikan tenda di kebun. Tenda yang mungkin hanya muat dua orang haha. Dan ternyata inilah yang oleh orang-orang disebut sebagai backyard camping. :p

Di dalam tenda kecil 😀

Benar adanya seperti yang dikatakan Helen Bilton (2010), dengan terciptanya ruang yang lebih luas, yaitu di luar ruangan, membuat anak-anak bisa bergerak dengan bebas sehingga mereka bisa memanfaatkan seluruh tubuh mereka dalam bermain dan berimajinasi.

Paku payung jalan :p

Manfaat lain dari menyediakan lahan untuk menanam adalah kami bisa memetik sendiri hasil dari pohon tersebut. Inilah pengertian “nikmat” selanjutnya bagi kami. Gedebak-gedebuk bunyi kelapa yang jatuh karena di-sengget oleh salah satu ayah kami semakin membuat leher terasa kering dan tak sabar untuk meminum airnya.

Eh, awas ngiler! :p

Di lain waktu rasanya alam lah yang berbaik hati pada kami. Tak pernah saya niatkan untuk menanam pohon tomat-cherry. Saya mengaduk-ngaduk dan mencampur pupuk dengan tanah untuk menanam dan menempatkan tumbuhan lidah buaya, tapi kemudian benih-benih pohon tomat bermunculan. Ketika berbuah saya kira tumbuhan itu mengalami gagal panen karena masak di saat ukurannya masih sangat mini. Belakangan baru saya ketahui kalau itulah pohon tomat-cherry.

Matang. Bukan gagal. 🙂

Selain manfaat sebagai tempat penghuni rumah beraktivitas dan lahan untuk menanam, luar rumah ternyata juga bisa menjadi tempat untuk berlatih pengamatan burung (birdwatching). Di sini, saya berlatih scanning, mencoba melatih mata untuk menangkap burung kecil yang menyelinap di antara rimbunan pohon, meski masih tak sepenuhnya bisa mengidentifikasi burung tersebut.

Berdasarkan catatan pengamatan tanggal 22 Oktober 2011 mulai pukul 06.30 sampai dengan 08.00 ada 5 jenis burung yang terlihat di belakang rumah. Yaitu burung Cinenen (masih bingung apakah Cinenen Kelabu ataukah Cinenen Pisang), burung gereja, merpati, Cabai Jawa, dan Cucak Kutilang.

Mereka terbang dari pohon mangga di rumah tetangga, lalu hinggap di pohon jati kami, bertengger, berkicau, terbang berkejaran, bertengger lagi, terbang lagi ke pohon jambu, berkicau lagi sambil melesat menuju pohon mengkudu dan seterusnya. Atau terlihat seekor bunglon kebun berjemur di antara Nona Makan Sirih.

Tapi bagi saya, yang paling menyenangkan adalah saat mengamati kupu-kupu. 🙂

Great Eggfly
Common Lime (1)

Hal paling menakjubkan adalah ketika dalam suasana senja saat matahari bergerak akan lengser, saya berjalan menuju pohon kelapa, dimana seekor Painted Jezebel (Delias hyparete) sedang berada di batangnya.

Senja sore itu rasanya begitu menakjubkan. Matahari semakin condong ke arah barat, tak ada angin bertiup sehingga daun bergesek pun tak terdengar suaranya. Saat itu rasanya seolah alam membiarkan diri untuk memperdengarkan setiap bunyi yang ditimbulkan dari kepakan sayap seekor Painted Jezebel khusus untuk saya. Ia berpindah ke pohon yang lain dengan bunyi kepak sayap yang sangat jelas, meninggalkan saya yang terpaku mendengar keriuhan setiap kepak sayap kupu-kupu di antara keheningan sebuah halaman.

Painted Jezebel

Hari yang lain lagi saya pun dibuat terpaku ketika seekor skipper yang saya dekati langsung terbang mengelilingi saya. Ternyata beberapa kali ia mencoba singgah di tangan, namun kemudian terbang lagi. Dengan perlahan saya mengulurkan tangan lebih tinggi. Dan benar saja. Dengan manisnya ia singgah di tangan dan tak bergeming.

Dengan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan rupanya tercipta ekosistem kecil di sana. Lebah dan kupu-kupu yang berkeliling di sekitar bunga lalu nemplok menciptakan aktivitas bernama penyerbukan, atau burung yang memakan biji-bijian lalu memencarkannya melalui fesesnya sampai akhirnya tumbuh pohon yang sama di bagian lain halaman.

“The most obvious place are park within cities, but community gardens and residential yards can also greatly contribute to biodiversity enhancement.”(Zitkovic, Maja. 2008)

Jamur yang muncul seusai hujan

Jika kesulitan untuk menulis atau jenuh dengan segala rutinitas dan kemacetan, saya kemudian menyeduh teh, mengambil dingklik atau jongkokan di antara rerumputan yang tumbuh tinggi dengan cepat, lalu mendudukan diri di sana, mengarahkan pandangan pada arakan awan yang terbentang di atas kepala.

Menulis di luar ruang

Lain hari kemudian menyeret tikar, membawa serta kertas-kertas untuk menuangkan segala yang ada di kepala, dan mulai menulis di antara rumput dan bentangan awan. Sesekali belalang ikut nimbrung di antara kertas. Hambatan untuk menulis (jika ini bisa disebut hambatan) adalah jika terlihat seekor kupu-kupu melintas terbang rendah, lalu hinggap tak jauh dari tempat saya, maka kegiatan menulis pun terhenti dan saya langsung pontang-panting mengambil kamera yang belum disiapkan di dalam rumah.

Mungkin maksud nikmat halaman belakang yang diberikanNya ini adalah sebagai sebuah wisata-sementara bagi saya, yang meski ingin sekali melakukan sebuah naturehealing di alam bebas namun saat ini masih terbatas untuk melakukannya.

Mungkin maksudnya adalah “Bersabarlah atas segala batasan jelajah yang masih jauh berada di depan sana. Bersyukur atas nikmat halaman yang sekarang kau punya, atas apa yang dimiliki sekarang, di detik ini.”

Seperti embun yang bahagia dengan pagi

“A quiet walk in a park, a few minutes of gardening, or gazing out onto a green window view can bring a sense of well-being and a restful calm.” (Kuo,Frances E. 2010)

Kan ada saatnya nanti, ketika kami tak lagi menempati rumah ini, halaman belakang ini pun hanya menjadi sebuah cerita. Semoga di manapun nantinya tinggal, kami selalu memiliki ruang terbuka hijau yang memadai dan bermanfaat. Termasuk rumah di surga nantinya. Insya Allah. Amin. 🙂

“If you have a garden and a library, you have everything you need.” ~Cicero~

Referensi:

Bilton, Helen. 2010. Outdoor learning in the early years: management and innovation. 3rd. ed.London: Routledge

Kuo, Frances E. (Ming). 2010. Parks and other green environments: essentials components of a healthy human habitat. National Recreation and Park Association, p.18-19

http://www.nrpa.org/uploadedFiles/Explore_Parks_and_Recreation/Research/Ming%20%28Kuo%29%20Reserach%20Paper-Final-150dpi.pdf  (diakses tanggal 29 Desember 2011)

Zitkovic, Maja. 2008. Managing green spaces for urban biodiversity. Factsheet by ICLEI. http://www.countdown2010.net/2010/wp-content/uploads/FS7Greenspace_small.PDF (diakses tanggal 29 Desember 2011)

3 thoughts on “Bahagia dengan sederhana: sisi belakang rumah

Add yours

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑