Kemping pertama: dengan brace?

Untuk semua yang mencintai berkegiatan di alam bebas…

Sepertinya selalu saya yang paling telat bikin tulisan hehe. Tapi bagi para peserta ataupun volunteer acara #kempingdiCiliwung, jangan harapkan tulisan ini bercerita mengenai susunan ataupun keseluruhan isi acara ya. 🙂 Mari saya ceritakan tentang kemping pertama saya ini.

Sebuah undangan acara kemping muncul di saat saya tengah melakukan dua hal di sela-sela waktu rehat. Pertama adalah membuat rangkuman tulisan mengenai ruang terbuka hijau. Dan kegiatan satu lagi adalah menyimak dengan seksama, satu per satu dengan mata saya, setiap rincian cerita pendakian gunung dan panjat tebing dari Erik Weihenmayer, seorang tuna netra, melalui salah satu bukunya yaitu “Touch the top of the world: farther than the eye can see”.

Undangan tersebut sangat pas waktunya mengingat rasanya sudah lama sekali saya tidak berkegiatan di luar ruangan bersama orang-orang ini. Orang-orang yang saya maksud adalah mereka yang sama seperti kegiatan dua tahun lalu di hutan mangrove Angke. Sehingga tentunya ini bukan acara pertama bersama mereka. Tapi dengan adanya brace? Berbedakah?

Mau tak mau saya berpikir ulang meski rasanya ingin langsung menyanggupi untuk hadir di acara itu. Ah ya, jangan bayangkan kemping dengan pendakian menuju puncak gunung. Pendakian pertama saya baru bisa sampai Cibereum 🙂

Kemping akan dilakukan di area hutan bambu di Bojong, sekitar 2 stasiun sebelum mencapai stasiun Bogor, tepat di tepi sungai Ciliwung, dengan pelaksana yaitu Transformasi Hijau dan Komunitas Ciliwung-Bojong. Kemping ini bertujuan, masih dengan tema sungai, untuk mengangkat potensi Ciliwung baik wisatanya ataupun biodiversitasnya. Acara kemping dilaksanakan dua hari satu malam yang berarti saya harus meminta tolong salah satu teman untuk memasangkan brace. Ingat kan cerita bahwa brace saya ini tak bisa dipasang sendiri? Hmm.. Sewaktu awal memakai brace, hal ini menjadi masalah luar biasa. Rasanya malu jika orang-orang tahu saya pakai alat penyangga ini. Tapi sekarang? Bukankah beberapa teman juga sudah tahu? Teman yang baik tentu tak akan begitu saja meninggalkan temannya yang kelimpungan pakai brace sendiri haha. :p

Lalu apa lagi yang dikhawatirkan? Kemping berarti tidur di dalam tenda. Dan meski saya menaruh minat luar biasa pada kegiatan-luar-ruang, saya belum pernah kemping. Masuk tenda pernah tapi tenda milik pasukan sepupu di halaman rumah :p. Tentu dengan ini saya harus siap dengan segala cuaca. Yang berarti harus siap membawa jaket ataupun jas hujan. Dan ini berarti berhubungan dengan barang-barang yang harus dibawa. Pertanyaan besar adalah bagaimana saya bisa kemping dengan isi backpack yang tidak boleh lebih dari 1 kg?

Terlepas dari itu semua, saya tetap mengajukan izin pada orangtua. Sambil menunggu izin dikeluarkan, saya mengirim pesan ke beberapa teman yang memberitahu bahwa jika saya memang jadi ikut, kemungkinan besar akan minta tolong pasangkan brace. Dan Alhamdulillah mereka menjawab akan membantu dengan senang hati asalkan diberi tahu caranya. 🙂

Malam hari sebelum berangkat, rasanya seperti dilanda dilema (haha lebay akut neh :p). Alasannya karena dengan sangat terpaksa saya harus merelakan tak membawa mumu (*nama kamera saya), yang ironisnya ke tempat di mana berpotensi besar untuk bertemu kupu-kupu atau biota lain. Kamera adalah pilihan. Pilih bawa kamera saja tapi tak membawa jaket dan baju? Tak mungkin kan?

Tanpa membawa mumu pun sebenarnya saya sudah bingung karena ketika jaket, baju, kerudung, mukena, kaos kaki, dimasukkan ke dalam backpack, angka timbangan dengan semangat bergerak menuju 4 kg!!

Oh no!! I don’t wanna fight with doctor during my camping time!

Padahal 4 kg ini dengan kondisi sleeping bag belum dimasukkan. *huhu nangis di lantai. Dan abang cuma bisa ngeliatin sambil geleng-geleng kepala melihat packing saya yang tak kunjung selesai. T_T

Ke mana harus ku bawa sleeping bag inih?! Setelah bertanya sana-sini, akhirnya saya memutuskan untuk tetap membawa sleeping bag di tas tambahan. Menurut abang ini adalah sesuatu hal yang ribet jika menempuh sebuah perjalanan, lebih baik menggunakan hanya 1 tas saja. Tapi tak ada pilihan lain. Menambah beban lagi di tas yang sudah 4 kg adalah pelanggaran besar-besaran.

Pagi hari pun tiba, ayah geleng-geleng kepala melihat bawaan saya. Dan saya cuma nyengir, sambil berdoa dalam hati supaya jangan sampai pak dokter ikut kemping ini juga. Setelah berpamitan pada seisi rumah, saya nebeng sama sepupu yang mau menuju pasar, untuk menuju ke stasiun.

Salah satu alasan saya mengikuti kemping ini juga adalah karena transportasinya. Dengan kereta dan posisi stasiun yang tak begitu jauh dari rumah, berarti saya sangat bisa menghemat memikul backpack di pundak, karena di dalam kereta tas bisa saya letakkan di bawah.

Ketika berjalan di peron dengan backpack penuh, rasanya antara senang dan juga takut. Senang karena seolah seperti kembali ke masa-masa dahulu ketika berkegiatan di Angke, tapi takut jika tas ini mencederai punggung dan merusak brace.

“The things i could not do, i would let go. But the things i could do, i would learn to do well.” ~ Erik Weihenmayer; Touch the top of the world: farther than the eye can see. p. 5 ~

Bersyukur buku itu bisa ada di tangan saya menjelang kemping (really thanks to Abang :).

Bayangan Erik Weihenmayer, yang mencoba berlatih membangun tenda sendiri, memenuhi pikiran saya. Menjelang keberangkatan pendakian menuju Denali, ia berlatih membangun tenda dan mengatakan hal itu. Dengan mata yang tak bisa melihat, ia terus berlatih melihat dengan tangannya, meraba-raba untuk membangun tenda, membongkarnya, membangun lagi, membongkarnya lagi, dan begitu seterusnya.

Bayangan itu terus menguatkan saya untuk terus berjalan penuh percaya diri, untuk kemping pertama, dengan brace ini. Dan awalnya saya pikir membawa beban di punggung ini masuk dalam kategori “things i could do.” Sehingga ketika sampai di Stasiun Bojong, saya berjalan dengan memantabkan langkah kaki dan punggung. Area kempingnya mungkin jauh dari sini. But i would learn to do well, to bring this backpack. Meski dengan rasa was-was, takut tiba-tiba berpapasan dengan dokter di jalan, yang mungkin bisa saja baru pulang kondangan di Bojong. -___-‘

Begitu bertemu dua orang di stasiun; Agnes dan Risky, kami pun menaiki angkot menuju Glonggong. Ternyata jaraknya hanya sekitar 10 menit. Begitu turun dari angkot, jalan setapak dengan batu-batu kecil sudah terbentang di depan kami. Dengan mereka yang telah tahu beban 1 kg yang menjadi batas di punggung, mereka mengambil alih tas saya, lalu menyodorkan tenda yang ketika dilipat bentuk dan sarungnya mirip seperti tripod, hanya lebih berat sedikit.

“Nih, lo bawa tenda aja. Tas biar dibawa Risky.” Kata Agnes. Dan Risky pun menggemblok tas saya di depan, sementara tas miliknya sudah nangkring di punggungnya sejak tadi. Saya tertawa teringat pelanggaran besar-besaran dan kemungkinan tak jadi bertengkar dengan dokter jika memang jadi bertemu di tengah jalan setapak ini.

Kami terus berjalan melalui jalan setapak, melirik sedikit pada gerobak bakso, melewati rel kereta, menelusuri rumah kiri kanan dengan pepohonan yang semakin jauh berjalan semakin rimbun, dan akhirnya samar-samar mulai terdengar aliran sungai. Pohon-pohon bambu semakin marak di sisi kiri kami. Sementara kursi-kursi dan meja dari bambu buatan penduduk menghiasi teras rumah masing-masing.

Dengan matahari yang semakin meninggi dan jarak tempuh jalan kaki yang belum juga menunjukkan area kemping semakin dekat, saya mensyukuri keputusan menyerahkan tas tadi. Ternyata beban tas di pundak yang melebihi kapasitas ini masuk dalam kategori “things i could not do, so i would let go.” Dengan membawa tripod ini pun sudah lumayan ngap-ngap-an haha. Bahaya jika ternyata saya benar-benar menempuh jarak jalan kaki 1 km itu dengan memanggul tas 4 kg hehe.

Tibalah kami di saung komunitas Ciliwung Bojong. Hujan sempat turun, namun kemudian berhenti menjelang acara dimulai. Para peserta, yang merupakan pelajar SMA dan mahasiswa, semakin berdatangan ke lokasi. Kami pun mulai membangun tenda. Saya sih cuma bantuin ngerecokin bikin tenda :p.

Peserta dari Angsana-IPB

Acara pertama pun dimulai dan para peserta dibagi ke dalam 5 kelompok untuk bergerak menuju 5 pos secara bergantian. Di setiap pos itu, sudah menunggu para pemateri yang akan melakukan sharingmengenai lingkungan, yaitu mengenai herpetofauna, burung, serangga, vegetasi, dan air. Di sini, saya diberi tugas menjadi pemandu kelompok, yaitu kelompok 5. 🙂

Kelompok 5 di pos air

Seharian itu, selama berkeliling menuju setiap pos, tak ada hal yang membedakan bahwa saya memakai brace dan yang lain tidak. Begitu juga dengan ketika memasuki area perkemahan, sholat, dan makan bersama, tak banyak yang berbeda. Kecuali satu, yaitu ketika mengambil wudhu dengan berjongkok di sungai. Kekhawatiran akan batu yang licin dan susah jongkok dengan kondisi memakai brace membuat saya untuk selanjutnya lebih memilih untuk berjalan menanjak ke rumah warga dan berwudhu di sana. (Kalo pake bracejangan kelamaan jongkok ya, sesak napas hehe.)

Inside a tent

Sorenya kami menonton para peserta yang main tap benteng di area hutan bambu. Inilah sehatnya berkegiatan di luar ruang, membuat tubuh senantiasa bergerak. Saya terus mengingatkan diri sendiri untuk banyak meminum air putih agar manfaat berkegiatan di luar-ruang yang sudah saya rangkum dalam tulisan ruang terbuka hijau itu bisa benar-benar terpenuhi. Kan nggak lucu kalau sudah bikin tulisan kegiatan dengan sederet manfaatnya, eh habis mempraktikannya saya malah sakit karena kurang minum -_-

Malamnya, usai berganti baju, saya meminta tolong Agnes memasangkan brace. Dan dengan senang hati ia bersedia, tak menemukan kesulitan untuk memasangnya 🙂

Acara selanjutnya adalah pengamatan herpetofauna. Ini berarti trekking malam hari untuk pengamatan katak, kodok, cicak, dan hewan herpet lain. Saya memilih untuk tidak mengikutinya. Mengacu pada peraturan nomor satu dalam MVP: “Rule no.1: avoid overworked.” Dengan berkegiatan seharian itu, lalu esok harinya masih ada serangkaian kegiatan lagi, saya harus bisa mengatur dan memilih untuk tidak mengikuti pengamatan herpetofauna. Ditambah juga dengan adanya beberapa orang yang tetap tinggal di area kemping, maka semakin mantaplah untuk tak ikut. Saatnya rehat sejenak, boi. 😀

Usai membereskan piring makan dan gelas bersama Tante Wey, kami duduk di tikar dan nonton film dengan layar putih yang dibentangkan. Tante Wey tiba-tiba bertanya mengenai bracelalu berkata sambil tertawa; “Kamu enak dong. Jadi kalo duduk di bawah gini udah ada senderan otomatis di punggungnya.” Benar juga ya :)).

The greater the challenge, the brighter the light burn. ~Erik Weihenmayer

Pukul 22.00 saya masuk tenda lebih dulu, sementara para peserta yang pulang usai pengamatan herpetofauna melanjutkan menonton film. Berada di dalam tenda dengan suara deras aliran sungai beberapa meter di belakang, saya mengucapkan selamat malam pada kunang-kunang yang saat itu tak terlihat, bernafas lega karena satu hari acara kemping perdana bersama brace dan MVP bisa dilalui dengan baik.

^^^^^^^^^^^^^^^^

Esok paginya, pengamatan burung dilakukan dengan trekking di seputaran desa dan tepi sungai. Kadang landai, tapi ada juga jalur yang menanjak sampai harus tarik-menarik antar teman. Sesudah itu dilakukan diskusi dan rencana program yang ingin dilakukan para peserta.

Diskusi sungai. Eh ada aku :p

Acara terakhir adalah river tubbing. Tapi tak lama usai diskusi, hujan turun dengan deras sehingga tubbing ditunda sebentar. Kami sibuk dengan barang masing-masing dan melakukan packing kilat di dalam tenda, berkemas untuk pindah. Usai semua barang dimasukkan ke dalam tas, tenda pun siap dibongkar. Saya, yang berdiri di luar dengan guyuran hujan (pake jaket tentunya), melompat-lompat sedikit karena kebelet pipis. Mbak Febri, yang membantu melipat tenda, menimpali dengan; “Udah, pipis aja di situ. Mumpung ujan, jadi kan dikiranya keujanan, bukan ngompol.” -___-.

Ketika kami naik ke rumah warga, hujan pun berhenti. Mereka-mereka yang ingin melakukan river tubbing sudah siap di posisinya masing-masing di tepi sungai. Saya? Mandi aja deh. Hehe. Mengingat tadi sudah trekking, river tubbing saya pilih untuk tidak ikut. Mengacu pada peraturan no.1 tadi: ingat! Avoid overworked. Dan untuk menghindari antrian panjang nantinya. :p

Usai semua basah-basahan main di sungai, seluruh rangkaian acara kemping pun selesai. Tahap selanjutnya bagi para peserta adalah ngantri panjang untuk mandii. Pukul 14.00 semua telah selesai dan kami berfoto bersama di tepi sungai. 😀

😀

Berikut sedikit sharing pengalaman untuk skolioser yang mau berkegiatan di luar-ruang (khususnya dengan brace). Tapi yang paling utama adalah bahwa kegiatan itu memang dibolehkan oleh dokter ya.

1. Packing adalah yang paling penting. Buat daftar barang-barang yang akan dibawa; baju-ganti, kaos kaki, obat pribadi ataupun sleeping bag. Hindari membawa barang-barang yang tidak perlu. Kenali lebih dulu dengan bertanya pada mereka-mereka yang sudah mengenal area yang menjadi tujuan, sehingga bisa mengetahui lebih jauh tempat yang akan dikunjungi tersebut. Misalnya harus membawa senter, tidak boleh pakai sendal jepit dan sebagainya.

2. Jangan malu untuk bilang yang sebenarnya mengenai kondisimu sebelum hari H pada beberapa teman. Ini penting misalnya untuk membantu memasangkan brace, mengetahui batasan diri, dan juga berguna untuk membantu packing tadi. Untuk barang-barang yang sangat penting tapi misalnya sudah tidak memungkinkan di tas sendiri, tanyakanlah apa ada teman yang mau berbagi muatan.

3. Pilih pakaian yang benar-benar menyerap agar memudahkan pergerakan, tidak membuat cepat kepanasan serta tidak berat dipakai selama berkegiatan ataupun ketika disimpan dalam daypack. Celana jeans selain berat ketika terkena air juga berarti lebih berat ketika disimpan di dalam tas. Saya diledek karena seluruh pakaian dari atas sampai bawah benar-benar seperti disponsori oleh toko outdoor haha. Katanya “Yulia bener-bener kaya orang lapangan. Lebih lapangan dari kita semua.” :p

Bukan maksudnya seperti itu sih haha. Tapi supaya brace tak membuat suasana kegiatan jadi tak nyaman jadi harus benar-benar dipilih yang tak panas dan tak berat dibawa. Lagipula baju dan celana outdoor itu pun hadiah :p.

4. Jangan ragu untuk tidak mengikuti salah satu acara jika memang kondisimu tidak memungkinkan. Belakangan saya ketahui dari Florencia (@Florenovi) flying fox pada outbond bagi skolioser yang memakai brace itu tidak diperbolehkan juga oleh pihak outbond. Karena harness hanya akan melingkupi di brace dan bukannya pinggang si pemakai. Dan ini berlaku juga pada kegiatan ekstrim lain yang mungkin membutuhkan penggunaan harness. Setiap orang punya kondisi tubuh yang berbeda. That’s ok. 🙂

5. Bagi skolioser yang disarankan memakai brace dan memang membawa manfaat bagi tulang belakangnya namun menghadapi kendala tak siap mental, malu dan sebagainya sehingga malah membatasi diri dari teman-teman atau malah mundur dari semua kegiatan karena minder, coba ingat kata-kata Lintang di novel Maryamah Karpov ini:

“Kesulitan akan gampang dipecahkan dengan merubah cara pandang, boi.” ~Lintang~

“Merubah cara pandang.” Inilah kata-kata yang terus terngiang setiap saya naik bus yang luar biasa penuh di masa-masa awal pemakaian brace.

Brace dianggap sebagai masalah dan kesulitan karena brace dipandang sebagai sebuah masalah. Jika brace dianggap sebagai sebuah kebutuhan, maka brace tak ubahnya seperti udara yang kita butuhkan untuk dihirup setiap detik. Ketika brace dipandang seperti itu, maka kita tetap bisa bernafas lega meskipun dengan brace melekat di tubuh.

“Brace is a problem if we consider brace as a problem and trouble so that the world becomes horrible. Brace is a best friend if we consider brace as an air for breathing. And through it, we still can take a deep breath even when it stick to our body. If this happen, the world will freeze for a moment to see your smile.”

^^^^^^^^^^^^^^^^

Secara keseluruhan, brace sama sekali tak menganggu kemping perdana saya itu; sebagai pemandu kelompok menuju tiap pos, trekking naik-turun-belok kiri-kanan-lurus, pengamatan burung, ataupun duduk lesehan di bawah untuk diskusi dan menonton film. Kalaupun ada dua kegiatan yang tidak diikuti, bukan bracealasannya, tapi karena batasan menakjubkan yang saya miliki, yaitu MVP. Rasanya sudah cukup puas bisa menempuh naik turun jalur untuk menuju rumah warga. Dengan kemiringan jalur yang seperti itu, MVP ini memang berdetak lebih cepat (tentu saja, namanya juga jalur menanjak :)) tapi selalu diusahakan untuk tetap teratur.

Ini dia jalur tanjakannya 😀

Senang sekali rasanya bisa makan bersama sekitar 30 orang di alam terbuka plus digigitin nyamuk pula :p. Dan senang karena tak ada yang berbeda atau perlakuan berbeda dari mereka, bahwa saya memakai sebuah alat penyangga punggung dan mereka tidak. Tembok yang tersusun dari deretan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan sendiri sewaktu awal penggunaan brace mengenai: bagaimana saya bisa berkegiatan dengan memakai alat itu, bagaimana jika orang-orang tahu saya pakai alat itu, bagaimana saya bisa berjalan mondar-mandir ke sana ke mari dengan alat itu, bagaimana ini, bagaimana itu, runtuh sudah. Semua terjawab dan semuanya tetap baik-baik saja. Tak ada yang berbeda. 🙂

Makan buah Kemang 😀

Setelah memastikan tak ada sampah di area kemping, dan menempuh jalur pulang dengan rute jalan setapak yang sama, saya kembali menyerahkan backpack untuk dibawakan lagi. Biar deh. Selama mereka tak keberatan hehe.

Dan setelah ini rasanya saya akan ikut kemping lagi 🙂

Aduh itu jemuran belum diangkat lagi -_-

6 thoughts on “Kemping pertama: dengan brace?

Add yours

  1. senang yaa punya temen seperti itu.
    terharu ada teman yang mau mbawain tasnya mbak.

    kemaren aku juga pelatihan akademi militer mbak.
    tapi aku ngelanggar semua aturan. hehe
    entah tasku waktu itu beratnya berapa.
    dan lelahnya juga minta ampun.
    lusanya, badanku langsung demam. haha 😀

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑