Berkebun

Suatu hari manakala sedang mencabut tanaman ginseng yang tumbuh liar di taman, tanpa sengaja mata saya tertuju pada halaman belakang milik tetangga.

Berderet-deret di sana, menjalar dan merambat dengan rapi, serta tumbuh menyeruak, berbagai tanaman seperti timun, bawang merah, sereh, dan sirih.

Di pojokan lahannya, tanaman cabai sudah merah merona dan siap dipanen. Tak jauh dari situ bergelantungan terung dengan warnanya yang menggoda untuk dipetik.

Huaaaaaa…!

Saat sedang kagum dengan semua tanaman yang sukses tumbuh dengan subur dan sebentar lagi sepertinya bisa dipanen itu, sang pemilik rumah keluar. Saya pun nyengir pada si ibu, memuji betapa rajinnya nenek menanam semua itu dengan usia seperti sekarang.

“Habis kalo dilarang malah nggak mau. Katanya sakit kalo nggak ngapa-ngapain.” jawab ibu tetangga yang kemudian bersuara sambil berbisik karena kemudian nenek, yang tak lain adalah ibu mertuanya, keluar dari rumah.

Usia nenek kira-kira sudah 80-an tahun. Bila sedang tidak menginap di rumah anak keduanya di Cianjur, beliau akan tinggal di rumah anak pertamanya yaitu tetangga saya ini.

Sama seperti orang lain seusianya, nenek pun tak mau hanya disuruh duduk dan diam saja. Melihat halaman belakang kosong, maka beliau pun menanaminya dengan berbagai tanaman. Setelah panen dan berganti beberapa bulan, tanaman tersebut berganti lagi dengan tanaman yang lain. Dan semuanya tumbuh subur sampai masa panen.

Sejak beberapa tahun belakangan, saya dan keluarga memang berkeinginan untuk menanami halaman belakang kembali seperti ketika kami baru pindah ke rumah ini. Kakek saat itu rajin membuat pagar-pagar bambu untuk dirambati tanaman terong dan timun, dengan saya yang sibuk mengikutinya ke sana ke mari di antara tanaman itu. Namun ketika kemudian habis masa panen, kegiatan berkebun itu tak diteruskan lagi dan sekarang pun kakek sudah tak mungkin lagi melakukannya. Sehingga kemudian kami hanya menanaminya dengan sedikit tanaman hias, pohon  buah-buahan semacam jambu air, srikaya, nangka, dan jeruk nipis (yang sampai sekarang belum pernah saya lihat muncul buahnya).

Sempat pula merancang ide untuk ramai-ramai mencangkul dan menggemburkan tanah baru kemudian bisa kami tanami dengan berbagai tanaman sayur. Tapi ide hanya ide. Bantuan mencangkul tak juga datang dan tak jadi dilakukan.

Saya jadi sempat malu pada nenek, beliau mencangkul dan menggemburkan tanah sendirian. Sementara saya, jongkok sebentar tanpa brace saja nyeri punggung sudah tak karuan. Tapi pernah juga mencangkul dengan brace, tetap saja dalam waktu satu jam hanya beberapa sentimeter saja kedalaman tanah yang berhasil dicangkul! Aih.. lama nian, keburu sore! Maka niat pun diurungkan lagi.

Sampai kemudian manakala mengetahui satu komunitas yaitu @IDBerkebun, saya jadi semangat lagi untuk menanam. Komunitas yang idenya digerakkan oleh Pak Ridwan Kamil ini berfokus pada kegiatan berkebun yang dilakukan di tengah kota. Lahan di tengah kota yang bersedia digunakan untuk menanam akan mereka gunakan untuk menanam ramai-ramai dan nantinya memanen pula ramai-ramai. Waah seru!

Mereka juga menanami lahan yang terbatas di area perkotaan dengan menanam di pot. Nah! Jika mereka menggunakan pot karena lahan terbatas, mungkin saya juga bisa menanam di pot karena tak bisa mencangkul XD.

Maka mulailah dicoba, menanam tanaman yang mudah-mudah dulu macam memindahkan lidah buaya yang potnya sudah mulai nggak muat dan retak-retak. Atau tumbuhan berbunga yang bisa dengan mudah tumbuh dengan memotong batangnya dan dipindah ke pot lain. Saat itu Miung dan Kucil setia menemani saya yang main-main dengan tanah. (akan saya ceritakan tentang mereka Insya Allah di chapter lain).

Lalu kemudian saya mencoba menanam kembang sepatu yang selama ini belum pernah sama sekali ditanam di rumah. Ketika menggali, Miung selalu memperhatikan, penasaran dengan sekop dan tanah. Sesekali ia mengulurkan kaki depannya untuk menjawil sekop mengikuti gerakan saya.

*Huaaa jadi inget Miung :((

Dan setelah itu rajin-rajin mantengin timeline @IDBerkebun mengenai menanam sayur. Hasrat untuk menanam pun menjadi lebih bertambah saat kemudian di pot lidah buaya yang saya pindahkan sebelumnya, muncul tumbuhan yang daunnya mirip dengan tomat. Tak hanya satu, tapi di pot lain muncul tumbuhan yang sama.

Ditunggu seminggu…. seminggu 3 hari… dua minggu, lalu munculah buahnya. Wah ternyata tomat beneran! Ditunggu beberapa minggu lagi, tapi saya jadi bertanya-tanya kenapa buah tomatnya tak besar-besar? Sampai ia berwarna merah dan masak pun tetap kecil. Hanya seukuran buah kersen saja. Setelah mencari info, rupanya ini buah tomat ceri!

Matang. Bukan gagal. 🙂

Kupu-kupu spesies Common lime pun betah nongkrong di sana berjam-jam. Sepertinya sembari berjemur mengeringkan sayapnya.

Papilio demoleus, Common Lime
Common lime (2)

Melihat tomat yang bermunculan dengan sendirinya karena kebaikan si penyebar biji semacam burung dan serangga, rasanya saya jadi lebih semangat untuk memulai gerakan menanam sendiri. Hasilnya suara cangkul nenek di sebelah rumah pun saingan dengan suara sekop saya yang mengaduk-ngaduk tanah.

“There can be no other occupation like gardening in which, if you were to creep up behind someone at their work, you would find them smiling.” ~ Mirabel Osler ~

Saya pun jadi rajin berpesan pada ibu atau siapa saja yang sehabis pulang dari pasar dan membeli daun bawang dan seledri, supaya tidak membuang bagian akarnya agar bisa saya tanam kembali. Ternyata tanaman yang sesungguhnya terlihat sederhana saja karena biasa kita lihat sehari-hari di tukang sayur atau pasar atau bahkan sudah tersedia di kulkas, bisa berubah jadi luar biasa kalau menanam sendiri mulai dari benih ataupun akarnya, menyaksikan sendiri tunas dan batangnya yang baru bermunculan.

image

image

Berhasil panen? Tidak dan belum. Seledri sampai sekarang hanya bisa tumbuh subur sebentar lalu mati. Daun bawang masih lebih baik umurnya, tapi lalu mati dan akhirnya harus menanam ulang lagi. Ditambah juga bawang merah, cabai, dan sereh yang seluruhnya hanya berjumlah beberapa pot saja.

Hasil tanaman kakak ipar

Yang paling saya suka dari semua tanaman itu adalah ginseng. Dan rupanya ide untuk menanam di pot ini bukan cuma bermanfaat dari menghindari mencangkul tapi juga menghindari hama keong. Tanaman ginseng yang tadinya tumbuh subur di tanah (hasil berkebun ayah saya) berubah jadi kering dan layu.

Ketika dibongkar, rupanya ada keong-keong berwarna putih kecil yang memakan bagian bawah tumbuhannya. Akhirnya ginseng-ginseng itu pun kami pindah ke dalam pot kembali. Dan ginseng pun tumbuh subur karena memang tak terlalu susah. Jika banyak terkena air, ia akan tumbuh dengan sendirinya sehingga sukses dipanen berulang-ulang untuk campuran saat makan mie dan diaduk dengan telur dadar. Hore!

“Daily activities like gardening or taking the stairs are good for your heart, lengthen life, and keep you mobile.” ~ Harvard Heart Letter. Vol. 17 No.3 Nov. 2006

Berkebun, menurut beberapa literatur dan tulisan yang saya baca, memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Ini karena dalam berkebun, seseorang melakukan aktivitas fisik yang membuatnya bergerak. Vitamin D yang didapat dari sinar matahari saat beraktivitas juga baik untuk kesehatan tulang.

Bagi mereka-mereka yang sehari-harinya selalu terkena paparan polusi udara dan polusi suara (baik bising deru kendaraan dan bising suara klakson) atau yang selalu berada di dalam ruangan ber-AC, maka beraktivitas di ruang terbuka yang dipenuhi udara segar sambil mendengarkan kicau burung liar di antara pepohonan bisa membawa tubuh dan jiwa ke dalam kondisi rileks sehingga terhindar dari stres.
Karena hal di atas, dalam beberapa literatur disebutkan pula bahwa berkebun membawa manfaat bagi kesehatan jantung, tekanan darah, serta bisa mencegah timbulnya dementia atau pikun.

Lupa menyiram tanaman, malas karena saat pulang hari sudah gelap, dan beberapa alasan lain sehingga berkebun kadang pun jadi maju mundur. Tapi dengan mengingat manfaat kesehatan tersebut dan rajin colek-colek mereka yang sudah lama berkecimpung dalam dunia perkebunan, serta melihat hasil panennya, rasanya bisa jadi semangat lagi.

Dalam aktivitas berkebun kita pun bisa belajar mengenai proses berlangsungnya rantai makanan dan mengamati ekosistem di alam, seperti misalnya mengamati lebah madu yang sedang mengumpulkan nektar, burung-burung yang sedang berebut makanan, ataupun serangga yang sedang kawin atau mating. Dengan mengamati secara langsung dan lebih dekat itulah, kita juga bisa memahami pentingnya manfaat dari masing-masing spesies tersebut.

Melakukan aktivitas berkebun yang notabene membawa manfaat, tentu kita juga tidak mau setelah melakukannya malah terkena penyakit, misalnya karena terlalu kelelahan. Atau seperti yang terjadi pada saya tempo dulu, terlalu bersemangat memotong rumput hasilnya esok hari tulang panggul malah sakit akibat terpentok brace.

Solusinya? Menyesuaikan kemampuan dengan keinginan. Jika memang sulit, puaskan diri untuk hanya memotong rumput seluas 1 petak saja hehe.
Atau jika kesulitan jongkok dalam waktu lama, saya menggunakan dingklik atau kursi kecil. Lalu memposisikan tubuh sedemikian rupa supaya nyaman berkebun sambil duduk.

Dehidrasi karena lupa meminum banyak air putih? Hmm… waspada! Supaya tidak lupa bisa sediakan gelas air minum di luar rumah sebelum memulai aktivitas berkebun.

Atau bagi yang sulit terkena paparan sinar matahari langsung (direct sunlight) jangan lupa pula mengenakan topi dan usahakan untuk berkebun di tempat yang lebih teduh. Biasanya sih jika sudah merasa terlalu lelah, saya berhenti dulu sejenak, nanti baru lanjut lagi.

“Gardening is cheaper than therapy and you get tomatoes.” ~ Unknown

Musim hujan biasanya membuat membuat bunga cepat mekar, cepat membuat buah masak, dan membuat rumput di halaman belakang meninggi hanya dalam waktu beberapa hari.

Hal yang paling menyenangkan dari itu semua adalah saat setelah hujan turun dan rerumputan hijau itu mengeluarkan senyawanya yang khas.

Petrichor.

Dan setelah hujan turun, dalam keheningan di antara petrichor itu akan ada butiran-butiran bening yang tertinggal dengan sangat manis. Meninggalkan jejak kerinduan yang tertuang melalui hujan.

“I have never had so many good ideas day after day as when I worked in the garden.” ~ John Erskine ~

4 thoughts on “Berkebun

Add yours

  1. berkebun itu memang menyenangkan. Apalagi kalau berhasil manen, bisa dipetik, dimakan, atau dipandang keindahannya. Subhanallah :))

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑