Aksesibilitas tanpa batas

Oktober 2011

Saya berdiri mematung di depan anak tangga, mengapit kruk di kedua lengan, sementara ibu di sebelah kiri memegangi tangan saya dengan raut khawatir. Ajakan ibu, untuk kembali ke ruang tunggu rumah sakit, saya abaikan karena memang masih ada tanggungan yang harus dibayar sehingga saya harus bergerak sampai akhirnya tiba di depan ATM ini.

Saya pikir masalah ATM ini hal yang juga bisa saya lewati, karena saat kecelakaan pertama sekitar 8 tahun lalu, dengan kruk saya bisa menaiki anak tangga di sekolah sampai lantai 2. Meski bisa saya lewati tapi tetap saja bukan perkara mudah karena harus menaiki anak tangga dengan perlahan sambil berpegangan pada railing, dibantu oleh teman-teman satu kelas (bahkan ada di antara mereka yang menawarkan untuk menggendong saya saja).

Begitu sampai di depan ATM, saya menatap undakan dengan jumlah “hanya” tiga anak tangga itu. Rasanya seperti sedang berada di depan anak tangga untuk menuju ke lantai 20 karena tak ada railing sama sekali untuk berpegangan. ATM ini pun tak punya bidang miring khusus untuk kursi roda, sehingga saya juga tak bisa meminjam kursi roda untuk bisa sampai ke ruang ATM.

Saya menatap ke bawah, ke kaki yang hanya sebelah mengenakan sendal dan sebelahnya lagi nyeker, mencoba melangkah menaiki anak tangga dengan kruk sambil dipegangi ibu. Kaki kanan sudah menapak di lantai semen tapi bagaimana dengan kaki kiri yang telapaknya bengkak dan permukaan atasnya menghitam? Kaki kiri ini bahkan hanya bisa menggantung di udara dan tentu tak bisa dijadikan tumpuan untuk melangkah. Dan kalaupun bertumpu 100% pada kruk saat melangkah menaiki anak tangga, ibu tak akan kuat jika harus menahan tubuh saya supaya tidak jatuh.

Sampai sekitar beberapa menit, saya dan ibu hanya meributkan masalah kaki kiri atau kaki kanan yang akan menapak dan menjadi tumpuan. Lima menit waktu yang kami habiskan hanya untuk menaiki satu anak tangga. Sampai akhirnya seseorang yang sedang berada di area parkir datang dan membantu kami menyelesaikan masalah tangga-tanggaan ini. Tubuh saya ditopang kiri dan kanan, masing-masing oleh ibu dan perempuan muda tak dikenal itu, sehingga telapak kaki kiri yang bengkak tak harus sampai menapak di lantai semen.

Saya menaiki tangga perlahan. Rupanya, meski sudah bertumpu pada dua orang, perkara ini tetap tak mudah. Kruk yang saya pegang (meski tak sepenuhnya dipakai) basah karena telapak tangan saya yang mulai berkeringat dingin. Sampai akhirnya dengan susah payah kami bisa masuk ke dalam ruang ATM, mbak yang membantu kami berlalu, dan saya menahan kerongkongan yang tercekat karena rasa yang bercampur aduk menjadi satu. Rasa nyeri dan snut-snut di kaki kiri, kesemutan mulai dari pergelangan kaki, bercampur dengan rasa kesal luar biasa karena fasilitas yang sama sekali tak mendukung. Saya terus memencet tombol-tombol di ATM sambil sesekali sesenggukan.

^^^^^^^^^^^^^

Difabel.

Entah sejak kapan saya membaca sebuah tulisan mengenai saran (dan kewajiban) untuk mengganti penggunaan kata “cacat” menjadi “difabel”, yang merupakan singkatan dari “Different ability people”. Orang dengan kemampuan yang berbeda.

Banyak yang berkata bahwa kita harus bersyukur karena terlahir normal. Lalu apakah mereka-mereka yang terlahir tak bisa melihat atau tak bisa berjalan secara otomatis termasuk dalam kategori abnormal? Tapi bukankah mereka juga mengalami kehidupan sama seperti yang lain? Bukankah mereka yang tidak memiliki tangan tetap bisa melukis? Bukankah mereka yang berjalan dengan kruk bisa tetap bekerja dan mengendarai motor beroda tiga seperti yang pernah saya lihat di jalan? Berarti sama saja kan? Sama-sama bisa melakukan sesuatu. Caranya saja yang berbeda. Different ability people. Itu saja.

Kejadian yang saya ceritakan di awal tulisan ini hanyalah satu dari sekian cerita mengenai akses kaum difabel di kota ini, dan hanya satu tempat yaitu akses menuju ATM. Lalu bagaimana dengan yang lain? Saya pun merasakan hal di atas itu karena kecelakaan hingga harus menggunakan kruk sementara waktu, lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami kesulitan dalam mobilitas setiap saat?

Seperti yang sudah saya uraikan sebelumnya di sini, fasilitas untuk transportasi publik memang masih banyak sekali yang belum memadai untuk para difabel, contohnya adalah seperti di bawah ini:

  • Trotoar

Suatu sore, dari dalam buskota yang luar biasa padat, kami (para penumpang bus) melihat sendiri trotoar yang sangat tidak ramah bagi kaum difabel tuna netra. Tiga orang tuna netra berjalan beriringan, masing-masing berpegangan pada bahu teman di depannya, sementara tangan satu lagi memegang tongkat yang dilipat. Laki-laki paling depan berjalan sambil meraba-raba dengan tongkatnya. Rasanya tepi jalan itu tak layak sama sekali disebut sebagai trotoar. Ada lubang, pot bunga, bahkan gerobak sampah yang parkir di sana, itupun belum ditambah pengendara motor yang nyelonong terlalu ke tepi.

“Walking for visually impaired persons is a stressful experience as they negotiate the sidewalks trying to avoid painful collisions.” ~ Katsumi Tokuda (2001)

Di kota “besar” ini, trotoar memang benar-benar di pinggir sampai kerapkali terpinggirkan. Meleng sedikit saja bisa kejeblos pada lubang, melenceng sedikit saja sudah bertemu motor yang melaju terlalu ke tepi, belum lagi ditambah pot bunga di tengah trotoar yang mungkin sebenarnya diletakkan untuk menghindari pengendara motor yang nyelonong lewat sana. Tapi pot bunga itu juga tidak bisa menjadi solusi karena terbukti menghalangi pejalan kaki dan bisa dipastikan esok paginya pot bunga akan menghilang dari tempatnya semula, entah siapa yang menyingkirkan.

Lewis Mumford, dalam tulisannya yang berjudul “Transportation: A Failure of Mind” dalam Urban Transportation System, mengatakan bahwa:

“If we took human needs seriously in recasting the whole transportation system, we should begin with the human body and make the fullest use of pedestrian movement, not only for health but for efficiency in moving large crowds over short distances.”

Sepertinya trotoar memang belum jadi satu hal yang diperhatikan. (baca juga cerita tuna netra saat berjalan kaki pada situs di sini)

  • Bus kota

Saya memang tak menggunakan alat bantu untuk berjalan atau mendengar, namun menggunakan semacam alat penyangga bernama brace untuk tulang punggung saya yang skoliosis. Meski masih bisa melakukan hal semacam berdiri bergelantungan di tengah padatnya buskota yang luar biasa, tapi suatu hari saya bisa kepayahan juga menghadapi kepadatan yang lebih parah yang ternyata terjadi di halte TransJakarta.

Bus TransJakarta yang sudah hampir setengah jam belum datang membuat antrian semakin lama semakin padat. Meski antrian sudah dipisah antara laki-laki dan wanita namun rupanya ini belum cukup untuk mengurai masalah.

Ketika bus datang, desak-desakan pun terjadi. Tak ada yang sampai jatuh memang, tapi teriakan sewot yang muncul dari antrian belakang supaya mereka yang berada di antrian depan langsung menaiki bus dan bukannya menahan diri di ujung halte, serta dorong-dorongan yang kian menjadi dari orang-orang sekitar yang berebutan untuk masuk ke dalam bus, membuat saya sama sekali tak siap.

Brace di punggung terus terdorong. Wanita-wanita tangguh di belakang saya ini rupanya tak perduli sudah mendorong benda keras semacam papan di punggung saya, karena mungkin mereka juga terdorong oleh orang di belakangnya. Kondisi berada di tengah kerumunan yang mendorong-dorong dan sangat berdesakan di dalam TransJakarta ternyata sudah cukup membuat saya harus duduk sejenak membeli teh manis panas, setelah perjalanan dengan bus tersebut, karena lutut yang lemas. Aih, cemen ya? Tapi bodo lah. Jika situasinya seperti ini rasanya lebih baik saya naik kopaja dan metromini saja.

Saya memang tak menuntut adanya antrian khusus tambahan, hanya untuk para skolioser yang menggunakan brace supaya tak terdorong-dorong. Toh antrian prioritas yang sudah ada sekarang ditujukan khusus untuk para lansia, difabel, ibu yang membawa anak, dan ibu hamil (meski sempat juga sewot saat tahu salah satu teman ada yang sengaja berpura-pura hamil demi mendapatkan jatah duduk, dan tak perlulah diperiksa satu-satu, cukup kesadaran diri masing-masing). Namun meski TransJakarta menyediakan akses tempat duduk khusus prioritas, saya tak terlalu yakin teman-teman difabel dengan kondisi tertentu bisa menemukan kemudahan untuk mengakses bus ini. Terhitung mulai dari naik tangga dan jembatan penyeberangannya yang tinggi dan panjang itu (dulu kabarnya tersedia lift untuk para difabel dengan kursi roda atau kruk tapi pada akhirnya sepertinya hanya tersudut begitu saja). Kesulitan juga bisa terjadi saat akan melewati celah yang cukup lebar antara halte dan bus.

Kekurangan ini berlaku tak hanya untuk bus TransJakarta tapi juga angkutan kota lainnya yang belum ramah bagi para difabel. Tahu kan kopaja atau metromini yang lebih sering mengangkut penumpang melebihi kapasitas itu?

wpid-2012-09-22-08.05.32.jpg
di dalam TransJakarta

Contoh lain lagi yaitu angkutan kereta api. Tidak semua akses menuju peron kereta juga memiliki bidang miring yang bisa dilalui para difabel. Sementara informasi kedatangan kereta api juga hanya dilakukan lewat pengeras suara dan bisa menyulitkan para difabel yang memiliki disabilitas rungu karena tidak ada keterangan visual.

  • Jembatan penyeberangan

Ah ya, selain trotoar, kereta api, dan bus kota, ada satu lagi yang jelas-jelas sulit dipahami. Yaitu bidang miring yang ada pada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Sering ditemukan adanya penggunaan yang salah pada jembatan tersebut, yaitu adanya pengendara motor yang melintas melewati jembatan karena alasan malas untuk memutar atau ingin cepat sampai. Sehingga jadi timbul pertanyaan bagi semua pejalan kaki yang melewati jembatan; bidang miring pada JPO itu sebenarnya untuk para difabelkah? Atau untuk pengendara motor?

Semoga saja semua fasilitas publik di kota Jakarta ini terus dibenahi sehingga bisa semakin ramah untuk semua penggunanya.

“From the very beginning, the aspirations of disabled residents for urban planning with a caring perspective have been to be able to enjoy the same living conditions as able-bodied citizens and the opportunity for an independent life.”

~ Katsumi Tokuda (2001) dalam Transport for people with dissabilities: barrier-free

Catatan tambahan: Saya takjub waktu melihat fasilitas publik di negara lain, yang jauh lebih ramah, melalui catatan-perjalanan para traveler dengan kursi roda di situs “wheelchair travelingdi sini.

*Tulisan diikutsertakan dalam kompetisi blogging yang diselenggarakan oleh Kartunet dan XL

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑